Cerita Mudik Cucu Tukang Wajit

July 15, 2016

Lebaran tahun ini hampir menjadi lebaran ke-tiga saya di Jerman, yang mana Ramadhan dan Lebarannya tidak seheboh di tanah air. Memasuki minggu ketiga puasa, saya sudah hampir bersiap mau bikin kue nastar, kue lebaran favorit saya. Namun hari itu, Senin tanggal 27 Juni saat berusaha menghabiskan nasi rendang yang tinggal dua suap saat sahur, tiba-tiba saya mendapat kabar yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk mendadak mudik sendirian hari itu juga.
 
Kabar yang saya dengar saat itu membuat saya terdiam, tak percaya. Kabar ini juga membuat saya kembali memikirkan semua perjalanan hidup saya, hingga rencana-rencana masa depan. Kabar itu adalah sebuah panggilan lewat Whatsapp dari kakak saya, mengabarkan meninggalnya ayah saya. Tapi, saya tidak hendak mengharu biru di sini tentang kehilangan dan kesedihan. Yang saya ingin ceritakan adalah tentang cerita singkat mudik saya.
 
Sesampainya di Kuningan, setelah beristirahat dari perjalanan lintas benua mendadak, saya dan adik saya menuju ke kampung tempat ayah saya tinggal. Kampung ini sekaligus tempat tinggal saya dari sejak lahir hingga kelas tiga SMP, sebelum kemudian merantau ke Bandung untuk melanjutkan SMA. ayah dan ibu saya membangun rumah pertama mereka setelah menikah di kampung ini, di tanah pemberian orang tua ayah. Ini berarti, di kampung ini jugalah keluarga ayah saya tinggal. Rumah Abah dan Ema (kakek dan nenek) bisa dicapai dengan maksimal 5 menit jalan kaki. Begitu juga rumah adik-adik Apa (ayah saya).
 
Begitu turun dari mobil dan memasuki gang-gang kecil di kampung itu, ingatan masa kecil menyeruak hadir. Gambaran masa kecil saya berlari-lari sepulang sekolah, bermain karet di karang tengah, main bebentengan, petak umpet, dan lain-lain muncul. Semuanya tampak familiar. Hanya saja, sekarang ukurannya menyusut. Jalan-jalan yang dulu terasa lebar, sekarang terasa sempit. Tembok-tembok yang dulu tinggi tak terjangkau, sekarang hampir sejajar kepala. Para tetangga masa kecil menyapa dan menyalami saya. Sebagian besar dari mereka sudah bertambah ukuran badan (tentu saya juga), berubah status, menua, bahkan meninggal dunia.
Adonan wajit yang sedang diaduk di atas hawu
Kemudian kami mampir ke gubuk kecil di tanah keluarga ayah saya, rumah kecil dari bilik yang biasa dijadikan tempat masak-memasak dalam jumlah besar, "Bumi Alit". Di sana, sepupu dan mamang (paman) saya sedang membuat wajit, salah satu makanan wajib untuk Lebaran. Mengapa wajit adalah makanan wajib? Karena kami adalah cucu tukang wajit, kakek dan nenek saya semasa hidupnya adalah pembuat wajit dan sekaligus menjualnya juga di salah satu lapak di Pasar Baru Kuningan. *Abah dan Ema juga tetap bertani dan beternak selain membuat dan menjual wajit*
 
Wajit keluarga kami terbuat dari tepung ketan, dicampur dengan salah satu buah (bisa sirsak, mangga limus, dan lain-lain), kelapa parut, dan gula merah. Semua bahan dicampur di wajan besar, kemudian dimasak di atas hawu (tungku) dengan kayu bakar. Saya ingat bagaimana hitamnya dapur di rumah kakek nenek saya karena jelaga dari pembakaran kayu bakar di tungku. Dulu ibu sering menyuruh saya ke rumah kakek untuk minta kelapa parut untuk memasak. Saat itulah saya bisa melihat kakek saya yang sedang mengaduk adonan wajit dengan pengaduk kayu panjang di atas tungku besar.

Wajit yang sudah dibungkus
Mengaduk adonan wajit biasanya dilakukan oleh laki-laki. Setelah adonan dirasa cukup kekentalan dan kematangannya, tungku akan di matikan dan adonan ditiriskan. Jika sudah tidak terlalu panas, wajit akan segera dibungkus dengan kertas warna kuning transparan oleh para perempuan, untuk kemudian dijual ke pasar keesokan harinya. Wajit yang paling saya suka adalah wajit sirsak, rasanya manis-manis segar. Setelah Ema meninggal, Abah tetap meneruskan membuat wajit. Tugas membungkus dan menjual ke pasar di ambil alih oleh bibi, adik ayah saya. Setelah Abah jatuh sakit, kegiatan menjual wajit dihentikan. Wajit hanya dibuat untuk Lebaran.
 
Ingatan-ingatan lain datang bergantian mengaduk-mengaduk perasaan. Lahir, tumbuh, merantau, kembali, adalah sebuah proses yang dijalani manusia. Perpisahan, persahabatan, pertemuan, pun adalah hal biasa. Perjalanan saya kali ini jelas berbeda dari perjalanan-perjalanan sebelumnya yang biasanya penuh antusiasme dan rasa ingin tahu. Bukan perjalanan ke tempat baru dengan orang-orang baru, tapi perjalanan pulang. Pulang menelusuri asal-usul, sejarah dan cerita lama. Sekaligus sebagai pengingat, untuk tidak lupa pulang, sejauh apapun kaki sudah melangkah.



You Might Also Like

0 comments